Soekarno ketika lahir diberikan nama Koesno
Sosrodihardjo oleh orangtuanya. Namun karena ia sering sakit maka ketika
berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut
diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama
"Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa jawa huruf
"a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su"
memiliki arti "baik".
Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama
Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama
tersebut menggunakan ejaan penjajah Belanda. Ia tetap menggunakan nama Soekarno
dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang
tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah. Sebutan
akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang
ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama
kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya,
"Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan
sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau
tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed
di depan nama Soekarno.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya
ketika menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian
nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal
Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan
pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Kehidupan Masa kecil dan remaja
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru
ditempatkan di Sekolah DasarbPribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan
keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan
Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama
Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama
kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung
Agung, Jawa Timur.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga
akhirnya ia pindah ke Mojokerto mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota
tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School,
sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche
Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger
School (HBS). Pada tahun1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di
ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima
di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S.
Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan
kediamannya.
Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat
Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi
pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi
dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong
Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif
menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921, bersama
Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921, setelah
dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar
kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno dinyatakan lulus ujian
insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada
Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas
insinyur lainnya. Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu
menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di
antaranya 3 orang insinyur orang Jawa". Mereka adalah Soekarno,
Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes
Alexander Henricus Ondang.
Saat di
Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang
merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di
sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National
Indische Partij.
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga
dikenal sebagai arsitek alumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926.
Pekerjaan dan Karya di Bidang Arsitektur
Ir.
Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur
bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan.
Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan
jenis bangunan lainnya. Ketika
dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang
beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.
Pengaruh Terhadap Karya Arsitektural
Semasa Menjadi Presiden
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya
arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan
secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun 1956 ke
negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat
cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara
holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.
Soekarno membidik
Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa
kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga
merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan
di masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan
koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior
untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara.
- Masjid Istiqlal 1951.
- Monumen Nasional 1960.
- Gedung Conefo.
- Gedung Sarinah.
- Wisma Nusantara.
- Hotel Indonesia 1962.
- Tugu Selamat Datang.
- Monumen Pembebasan Irian Barat.
- Patung Dirgantara Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf.
- Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957.
Masa
pergerakan nasional
Soekarno untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika
dia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1915.
Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-sentris dan hanya memikirkan
kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat pleno tahunan yang
diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan sidang dengan
berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sebulan
kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar
Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1926, Soekarno
mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil
inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi
ini menjadi cikal bakal Partai
Nasional Indonesia yang
didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya
ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929 di
Yogyakarta dan esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 ia
dipindahkan ke Sukamiskin dan pada
tahun itu ia memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat
(pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno
bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.
Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan
diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan
oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat
dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga
tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan
Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945),
pemerintah Jepang sempat tidak memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia
terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini
terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang
begitu populer. Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang
memerhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno,
Mohammad Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi
dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia.
Disebutkan dalam
berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh
tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-sebut dan
terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan
pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada
pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan
menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski
sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin
serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia,
di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk
merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke
Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad
Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna
Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat
pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga
tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus
1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di
Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia
adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi
bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai
mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Panitia
Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari
sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI,
Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa
Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno
dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk
menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta
Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi
kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan
Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan
menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.
Alasan lain yang berkembang
adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia
yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan
Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu
pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad
Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil
presiden dikukuhkan oleh KNIP. Pada tanggal 19 September 1945
kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa
Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang
yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh
Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto
setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga
berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang
dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu (di bawah Inggris),
meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir
Jenderal A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti
wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan
Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single
executive). Selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah
menjadi semipresidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai
Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan.
Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat
pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar
Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi
kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam
menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda
II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan
sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin
Prawiranegara, tetapi
pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui
bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya
kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden
Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik
Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang
kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh
rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17
Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden
Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan
Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden
Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan
pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan
lebih kuat di kalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni
perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet
seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang memercayai sistem
multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak
jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer
yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan
Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan
gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk
mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung
dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika.
Ketimpangan dan konflik akibat "bom
waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan
imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang
nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional
dalam penyelesaian konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang
memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami
konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan
masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini
pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno
bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif
dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan
bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Situasi Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965. Pelaku
sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI
dituduh terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi
demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya
meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI
karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sikap Soekarno yang
menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik.
Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat
Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan
perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga
keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu
digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai
organisasi terlarang. Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu
TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No.
XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar
untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.
Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban
mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato
tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni 1966. MPRS kemudian meminta Soekarno
untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun
disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS
pada 16 Februari tahun yang sama.
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat
Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka
Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah
melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno,
mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden
RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia telah dinyatakan
mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr.
K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal
kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan
tradisional. Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada
hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD
(Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang
dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan wafat,
pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak
lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua
Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai
berikut:
Pada
hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin
memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun. Tanggal
21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak
sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim
dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno
hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya
dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun
pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa
Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres
RI No. 44 tahun 1970. Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah
kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.
Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean
sebagai inspektur upacara. Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama
tujuh hari.
Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno
pada 6 Juni 2001, maka Kantor Filateli Jakarta menerbitkan prangko "100 Tahun Bung Karno". Prangko yang
diterbitkan merupakan empat buah prangko berlatar belakang bendera Merah Putih serta menampilkan gambar diri Soekarno dari muda
hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.
Prangko pertama memiliki
nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno pada saat sekolah menengah.
Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi
tahun 1920-an terpampang di atasnya. Sementara itu, prangko yang
ketiga memiliki nominal Rp900 serta menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi
kemerdekaan RI. Prangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika menjadi
Presiden dan bernominal Rp1000. Keempat prangko tersebut dirancang oleh Heri Purnomo
dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri. Selain prangko, Divisi
Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan prangko, album
koleksi prangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga
desain kaus Bung Karno.
Prangko yang
menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada
tanggal 19 Juni 2008. Prangko tersebut menampilkan
gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro. Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80
Fidel Castro dan peringatan kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba.
Nama Soekarno pernah diabadikan sebagai nama sebuah
gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan
tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru, kompleks olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung
Karno.
Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah
Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno
adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan
ini dipimpin oleh Rachmawati
Soekarnoputri, anak ke
tiga Soekarno dan Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan
pemikiran Bung Karno, Nation and Character Building kepada
mahasiswa-mahasiswanya.
Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan
untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda seni maupun
nonseni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno
yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, dan Kartika Sari
Dewi Soekarno. Pada tahun
2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.
Di stan tersebut ditampilkan video
pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat" yang disampaikan di
Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden.
Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cenderamata Soekarno dijual di
stan tersebut. Di antaranya adalah kaus, jam emas, koin emas,
CD berisi pidato Soekarno, serta kartu pos Soekarno.
Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku
memiliki harta benda warisan Soekarno. Soenuso mengaku merupakan mantan sersan
dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang. Ia pernah
menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu kepada
sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor. Benda-benda tersebut antara lain
sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang terdaftar dalam register emas
JM London, emas putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London
serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan ejaan lama berupa deposito hibah. Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss dan Bank
Netherland. Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun
belum ada pakar yang memastikan keaslian dari emas tersebut.
Semasa hidupnya, Soekarno mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam dan luar negeri. Perguruan tinggi dalam
negeri yang memberikan gelar kehormatan kepada Soekarno antara lain Universitas Gajah Mada (19 September 1951), Institut
Teknologi Bandung (13
September 1962), Universitas Indonesia (2 Februari 1963), Universitas Hasanuddin (25 April 1963), Institut Agama Islam Negeri Jakarta (2 Desember 1963), Universitas Padjadjaran (23 Desember 1964), dan Universitas
Muhammadiyah (1 Agustus 1965). Sementara itu, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Rusia) dan Al-Azhar University (Mesir) merupakan beberapa universitas luar negeri yang
menganugerahi Soekarno dengan gelar Doktor Honoris Causa.
Pada bulan April 2005, Soekarno
yang sudah meninggal selama 35 tahun mendapatkan penghargaan dari Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Penghargaan tersebut adalah penghargaan bintang
kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo yang
diberikan dalam bentuk medali, pin, tongkat, dan lencana yang
semuanya dilapisi emas. Soekarno mendapatkan penghargaan tersebut karena
dinilai telah mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan
oleh negara maju serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam
melawan penjajahan dan membebaskan diri dari apartheid. Acara penyerahan penghargaan tersebut dilaksanakan
di Kantor Kepresidenan Union Buildings di Pretoria dan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri yang mewakili ayahnya menerima penghargaan.